Sepulang
umroh, kondisiku mulai stabil. Tidak ada lagi rasa pusing, kemampuan berpikir
dan mengingat mulai membaik, dan aku bebas serangan walaupun aku masih
mengkonsumsi obat.
Oktober 2007, aku sekeluarga sempat
berkunjung ke USA selama 1 bulan dengan beberapa agenda mulai dari berlibur,
reuni dengan teman lama, acara resepsi pernikahan saudara sepupu, sampai
meeting koordinasi kerja sama antar universitas. Saat itu aku merasa sangat
senang. Aku bisa berlibur tanpa perlu lagi khawatir tentang munculnya serangan
kejang epilepsi.
Di penghujung tahun 2007 ini aku
mencoba mengingat kembali peristiwa apa sajakah yang sudah aku lalui sepanjang
tahun ini. Di awal tahun aku menjalani wisuda S1, kemudian diikuti operasi
bedah syaraf, lalu aku bebas serangan kejang, sempat melakukan ibadah umroh,
dan di akhir tahun ini diberi kesempatan untuk berlibur bersama keluarga. Ini
adalah salah satu tahun yang aku lalui dengan banyak momen indah dalam hidup.
Tetapi ini bukanlah akhir dari kehidupanku bersama epilepsi. Inilah saatnya aku
melihat epilepsi dari sudut pandang lain
***
Awal tahun 2008 aku memulai studi
Magister Sains Psikologi. Sejak awal aku sudah berencana untuk mengambil tema
psikologi dan epilepsi untuk tesis ku kelak. Untuk mempersingkat waktu
penyusunan tesis, maka sejak awal semua tugas mata kuliah aku susun dengan
topik psikologi epilepsi.
Hal yang menjadi pertimbangan utama
bagiku dalam pemilihan tema epilepsi adalah minimnya informasi tentang epilepsi
di masyarakat yang berujung pada stigma negatif (epilepsi identik dengan
keterbelakangan mental, epilepsi membuat ODE menjadi bodoh, dll), diskriminasi,
ataupun pelecehan terhadap ODE. Ini semua mengingatkanku pada kejadian yang aku
alami beberapa tahun yang lalu sebelum operasi.
Hari itu hari Jum'at. Aku sedang berada dalam sebuah Masjid dekat rumah untuk menjalankan ibadah shalat Jum'at. Tiba-tiba aura rasa takut datang, dan aku pun hilang kesadaran.
“Hei..hei...hei....lihat orang itu, lihat!!”, suara
panik muncul ketika seorang ustadz memberikan khotbah Jum’at.
“Kesurupan!!! Kesurupan!!!!.........”, orang itu
menambahkan dengan teriakan yang lebih keras.
Seketika orang-orang di dalam mushola memandang
seseorang yang sedang kejang-kejang, dan matanya terbalik sehingga matanya
hanya nampak berwarna putih saja. Orang yang kejang-kejang itu juga berteriak,
dengan suara yang berat, intonasi nada suara yang rendah, mengamuk, dan
seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.
Ya, orang itu adalah aku.
“Tidak mungkin dia kesurupan. Kita sedang ada di
masjid. Setan tidak akan berani masuk masjid”, kata seseorang
“Iya, mungkin dia punya penyakit terus
kejang-kejang. Itu aja. Bukan kesurupan”, orang lain menambahi.
Jika kejadian kejang-kejang itu terjadi di dalam masjid, masih mungkin muncul pemikiran bahwa itu bukanlah kesurupan. Tapi apa jadinya jika
kejang-kejang itu terjadi di tempat umum? Bisa saja muncul anggapan bahwa ODE
itu sedang kesurupan, atau mungkin juga sedang mengalami hal lain.
Seorang teman
dari Bandung pernah bercerita.
Adiknya terkena serangan kejang ditempat umum, dan jatuh seketika sambil mengeluarkan buih dari mulutnya. Adik
temanku sedang pergi sendirian. Apa reaksi orang sekitarnya melihat itu? Mereka
hanya mengatakan bahwa ia sedang OD, alias overdosis narkoba. Untunglah saat
itu ada pengemudi becak yang baik hati. Walaupun sudah tua, ia mau mengantarkan
adik temanku itu pulang ke rumahnya, setelah ia membuka dompet adik temanku dan
melihat alamatnya di KTP.
Dari pengalaman ini aku melihat epilepsi dari sudut pandang ODE. ODE menjadi korban dari stigma negatif tentang epilepsi yang beredar di masyarakat.
***
Sore yang cerah. Bulan Mei 2008. Aku baru saja
menyeberangi selat kecil yang memisahkan sebuah pulau kecil dari kepulauan di
sisi timur Cina. Aku sedang berada di Xiamen dalam rangka menghadiri The 7th Asian-Oceanian Epilepsy Congress
(AOEC). Inilah pertama kalinya aku menghadiri seminar epilepsi. Aku bersemangat
mengikuti seminar ini untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengobatan
epilepsi dan isu-isu sosial dibalik permasalahan epilepsi. Materi-materi yang
dibahas dalam seminar ini akan sangat membantuku dalam penyusunan tesis.
Sore itu aku sengaja melewatkan beberapa sesi
kongres untuk berwisata sejenak bersama seorang teman untuk menyebrang ke pulau
di seberang Xiamen. Kami melihat pemandangan taman yang indah, dan di dalamnya
berisi banyak anak-anak sedang bermain. Menjelang matahari terbenam, temanku,
yang juga ODE, mengajakku untuk kembali menyeberang ke Xiamen.
Keluar dari kapal, temanku tampak kelelahan, dan
tiba-tiba badannya bergoyang-goyang. Sambil memegang kepalanya, ia tampak
meringis kesakitan. Seperti orang sakit kepala.
”Kamu kenapa?”, tanyaku
”Aku tidak apa-apa kok, dah yuk kita balik ke
hotel dulu terus ke tempat kongres lagi, malam ini ada gala dinner”
”Ok. Yuk”, dan aku pun melangkah terlebih dahulu,
berjalan di depannya. Sesekali
kutengok ke belakang dan ia masih nampak sakit kepala.
”Capek ya? Ya udah, istirahat di taman depan dulu
itu yuk, sekalian liat sunsets di pinggir selat”
”Tidak usah, gak
papa, ayo ke hotel”
Aku berjalan
lagi, kutengok ke belakang sekali lagi, ia masih nampak sakit kepala dan
matanya sudah hampir tertutup. Segera kudekati dia, dan aku berdiri di
sampingnya.
“Kamu
kenapa……..”
“Haaahhhhhhh!!!”,
ia seketika berteriak.
Tiba-tiba ia pingsan seketika dan tubuhnya jatuh.
Untunglah saat itu aku secara reflek langsung bisa menahannya. Aku pun tahu
bahwa ia sedang terkena serangan epilepsi. Sebenarnya dia termasuk ODE yang
jarang terkena serangan, tetapi memang mungkin di saat itu dia harus terkena
serangan. Aku bisa menahan tubuhnya, tetapi aku tidak tahu berapa lama biasanya
ia hilang kesadaran? Dan seperti apa bentuk serangannya? Karena itu adalah
pertama kalinya aku melihatnya terkena serangan. Lebih tepatnya, itulah pertama
kalinya aku melihat orang lain terkena serangan epilepsi.
Aku dalam posisi berdiri dan tanganku ada dibalik
punggungnya sambil menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Dia dalam posisi hampir
seperti orang tidur dan tidak sadar (jadinya posisi kami kalau dari samping
hampir mirip huruf L). Reaksiku biasa aja, walaupun ada sedikit kepanikan dalam
diriku. Tapi aku tetap nampak tenang dan dingin seperti biasanya. Dalam hati
aku berharap-harap cemas agar ia segera sadar.
Ketenanganku menghadapi situasi tersebut akhirnya
terusik juga oleh reaksi warga setempat yang ada di sekitar kami.
Seorang pria berjalan melewati kami dengan
perlahan dan disertai tatapan heran. Seorang ibu-ibu berhenti di sampingku dan
melihat kami. Begitu ada ibu-ibu lain, mereka langsung berbicara. Entahlah apa
yang mereka bicarakan, aku tidak mengerti bahasa Cina.
Semakin lama, semakin banyak orang yang
mengerumuni kami. Ada yang berbicara denganku tapi aku tidak mengerti bahasa
mereka. Ketika aku jelaskan
dengan bahasa Inggris, tak ada satupun orang yang mengerti.
Mereka nampak panik, dan itulah yang membuatku
tertular rasa panik.
”It’s ok. She is person with epilepsy, and now she
get seizure. It’s ok. Just wait in a few minutes. She’ll awake” , ucapku dengan bahasa inggris yang campur aduk gara-gara
panik.
”#$%^*!@#”, mereka mengucapkan sesuatu dalam bahasa lokal yang tak
kumengerti.
”It’s ok....”
Temanku masih belum sadar, dan ia sesekali
menunjukkan gejala kejang, seperti orang tersetrum listrik.
”&*^%$#@!”
”If she doesn’t awake in a few minutes, i need your help. But
please, just wait…..”
“&^%$#**”
Ingin rasanya aku berteriak, “Hellloooo!
English Please!”
Keadaan nampaknya semakin gawat sewaktu ada warga
yang memanggil polisi setempat. Polisi itu kemudian datang dan langsung
bertanya kepadaku. Dengan nada bicara yang keras dan cepat, entah mungkin logat
bahasa mereka begitu atau tidak, aku merasa menjadi seperti tersangka. Akhirnya
aku pun jelaskan ke semua orang dalam kerumunan itu, termasuk polisi, pakai
bahasa yang paling universal, yaitu gerak tubuh.
Polisi tampak tetap menunggu di depanku. Aku tidak tahu kapan temanku ini akan sadar
"Apakah aku akan digiring ke kantor polisi?"
"Aku tidak bawa paspor!"
"Apakah aku akan dicurigai sebagai seorang tersangka pelaku kekerasan?"
"Kapan temanku ini akan sadar kembali?"
"Bagaimana kalau dia akan pingsan dalam waktu yang lama?"
"Apakah ada bagian tubuhnya yang cedera?"
"Jadi aku harus bagaimana?"
Semakin lama rasa panik dalam hati dan pikiranku ini semakin besar
Untunglah, beberapa saat kemudian dan sadar kembali
perlahan-lahan. Ia membuka mata, dan mulai berdiri. Setelah melihat temanku berdiri,
krumunan orang mulai bubar, dan polisi nampaknya memahami bahasa tubuhku.
Mereka meninggalkan kami, dan aku mengantar
temanku untuk duduk di taman. Ada seseorang yang tiba-tiba menawarkan botol
kecil, entah apa isinya, tapi sepertinya itu ramuan yang berfungsi seperti
balsam. Kami dengan halus menolaknya.
Kamipun beristirahat sejenak
”Kamu udah kembali?
Udah sadar 100%?”, tanyaku
”Huuuhhhhhh.......udah....udah.....”, jawab dia
”Lain kali kalau mau kena serangan ngomong yah,
biar aku bisa siap-siap nolongin kamu”, pintaku
”ok..yah...yah....”
”Ya udah yuk, ke hotel aja, istirahat di kamar
dulu”
Dan kami pun melanjutkan langkah kami menuju
hotel. Hanya tinggal menyeberang jalan saja, bangunan hotel pun sudah nampak.
Dalam perjalanan pendek menuju hotel itu, aku
merasakan bahwa bukan hanya kaki-ku saja yang melangkah, tapi pikiranku pun
ikut melangkah. Melangkah menuju masa lalu. Aku teringat kata-kataku tadi yang
meminta agar temanku memberitahuku ketika akan kena serangan. Bukankah ini adalah permintaan yang sama, yang
dulu sering sekali diucapkan teman-temanku kepadaku?
Aku terus saja berbicara dalam hati, sampai
akhirnya aku menemukan beberapa pertanyaan. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Inikah rasa kepanikan, kekhawatiran,
ketakutan, dan kecemasan yang dulu dirasakan oleh keluargaku, teman-temanku,
saat mereka bersamaku dan melihatku terkena serangan epilepsi?”.
Saat itu juga kesadaranku bertambah dalam lagi,
dan aku kembali berkata pada diriku sendiri lagi, “Ternyata sekarang aku jadi makin menyadari tentang bagaimana reaksi
orang lain saat aku terkena serangan. Sebelumnya aku hanya sebatas mendapat
informasi bahwa mereka panik, khawatir, cemas saat melihatku terkena serangan.
Tapi kali ini aku bisa menempatkan diri dalam posisi mereka. Aku turut serta
merasakan bagaimana sebenarnya reaksi mereka saat melihatku terkena serangan”
Peristiwa ini membantuku untuk melihat epilepsi dari sudut pandang yang berbeda. Kali ini aku tidak lagi berperan sebagai ODE, tapi sebagai masyarakat umum yang melihat ODE terkena serangan
***
Kedua pengalaman tersebut membantuku untuk melihat epilepsi secara lebih obyektif. Tidak hanya dari sudut pandang ODE saja tetapi juga dari sudut pandang masyarakat.
Jika ODE menginginkan masyarakat bisa bersahabat dengan epilepsi, maka ODE juga harus berani untuk membuka diri, dan mengedukasi masyarakat tentang apa itu epilepsi dan bagaimana penanganannya. Tidak semua orang membenci epilepsi. Berdasarkan pengalamanku, mayoritas orang-orang justru sebenarnya ingin menolong tetapi tidak tahu caranya, sehingga mereka panik ketika melihat ODE terkena serangan kejang.
Di sisi lain masyarakat juga harus mau belajar bahwa epilepsi tidak menular. Jika tidak kena serangan kejang, ODE nampak seperti orang normal pada umumnya yang dapat melakukan berbagai aktivitas. ODE hanya mengalami gangguan ketika mengalami serangan kejang yang berlangsung beberapa menit saja. Hanya saja ODE membutuhkan bantuan masyarakat untuk menghindari dan memastikan bahwa serangan kejang tidak terjadi di waktu dan tempat yang berbahaya.
qu pun ODE sejak usia 13 thn (skrg 33thn). sampai skrg masih t' kena serangan meski sifatnya jarang, t' utama saat kondisi tubuh sedang drop krn kurang nutrisi & waktu istirahat. alhamdulillah keluarga & sahabat dekat terus support & ga henti mengingatkan saat kondisi tubuh mulai ga baik hingga qu pun berani u/ b' rumah tangga sejak 4 thn lalu. suami kadang masih kaget dgn kondisiqu tpi ia smakin t' latih & menerimaqu apa adanya,ditambah dngn kehadiran buah hati kami m' buat diri smakin b' semangat jalani hidup. meski begitu tetap saja ada orang lain yg menganggap kondisiqu sebagai " kesurupan" dan hal lain yg m' buat mereka menjauh dariqu. karenanya perlu awareness lebih ttng epilepsi agar bisa m' beri semangat hidup bagi para ODE seperti kita ini sekaligus m' perbaiki pandangan para non - ODE di sekitar kita..
BalasHapusTetap semangat ya untuk hidup bersama epilepsi
HapusPenyusunan tulisannya bagus sekali Paaak. Ah Pak Aska luar biasa cerdas. Semoga sehat selalu sekeluarga ya Paak :))
BalasHapusAmin, thank you Gita. Semoga kamu juga tetap sehat & kariernya semakin berkembang lagi
Hapus