Hujan deras turun sejak semalam, bahkan sepertinya
pagi ini hujan semakin deras. Ingin rasanya ini terjadi di hari libur.
Sayangnya ini adalah hari kerja. Aku tetap harus bangun pagi dan bersiap kerja.
Setelah selesai sarapan dan mandi, aku lihat hujan deras masih turun.
Tiba-tiba aku dapat message dari mobile chatt,
menyebutkan bahwa kantorku diliburkan pada hari itu karena situasi banjir di
sekitar kantor. Di satu sisi aku senang karena artinya hari itu aku libur,
tetapi di sisi lain juga mempertimbangkan bahwa kerjaanku esok hari pasti menumpuk. Apapun itu, nikmati saja.
Aku pun berencana untuk melaksanakan latihan di
gym. Sudah sekian bulan belakangan ini aku mulai rajin latihan di fitness
center. Berawal dari rasa sesak nafas dalam dada yang sering muncul tiba-tiba,
aku coba melawannya dengan banyak berolah raga.
Alhamdulillah sekarang rasa sesak itu sudah hilang, tubuhku makin fit,
dan setiap malam bisa tidur lebih nyenyak.
Sebenarnya sejak kemarin aku sudah berjanji untuk
bertemu dengan keluarga ODE (orang dengan Epilepsi) saat lunck break. Tetapi
ternyata hari ini kantorku libur dan aku berencana ke fitness center. Oleh
karena itu aku ubah lokasi pertemuannya menjadi ke sebuah rumah makan di
seberang fitness center.
Saat itu aku sedang menikmati makan siang.
Tiba-tiba aku didatangi oleh 4 orang, yang terdiri dari bapa, ibu, dan 2 anak.
Mereka memperkenalkan diri kepadaku dan menyebutkan bahwa salah satu anaknya
adalah ODE dan sudah dioperasi. Anak tersebut adalah laki-laki berusia sekitar
8-10 tahun.
“Nak, ini lho Mas Aska, yang sering Papa ceritakan”,
kata sang Ayah membuka pembicaraan
Aku lihat sepintas wajah si Anak, dia tampak
melihatku sesaat, lalu kembali menundukkan kepala
“Mas Aska ini juga punya epilepsi, dan sudah
operasi. Kondisinya sama sepertimu”
“Iya, saya juga seorang ODE”, kataku
“Mas Aska ini walaupun memiliki epilepsi, tetapi
tetap percaya diri, dan bisa beraktivitas bersama teman-temannya”, kata sang
Ayah
“Iya tapi Mas Aska sudah bebas serangan kan?, Nih
aku kadang-kadang masih kena serangan”, kata si anak membuka pembicaraan
“Kenapa sih harus aku yang kena serangan?
Teman-teman bisa beraktivitas olah raga, ikut kegiatan pramuka, bisa aktif
berorganisiasi tapi aku?”, tambah dia
Baru saja aku mencoba menjawab pertanyaannya, dia
sudah memberikan keluhannya terlebih dahulu
“Aku malu bergaul dengan teman-teman kalau masih
kena serangan. Cuma jadi bahan tontonan saja saat aku kena serangan”, kata dia
sambil menundukkan kepala
“Iya, saya sekarang masih sama seperti kamu kok.
Masih ada kemungkinan saya mengalami serangan kejang”, jawabku sambil mencoba
berempati kepada nya
“Iya, tapi kenapa aku? Apa salahku? Kenapa aku
yang harus punya epilepsi? Kenapa bukan teman-temanku?”
“Sekarang saya tidak bisa menjawabnya. Tapi saya
percaya bahwa suatu saat kamu akan tahu jawabannya. Mengapa kamu harus menjadi
ODE”, jawabku
“Iya nak, percayalah suatu saat kamu akan tahu
jawabannya”, ibunya mencoba menguatkan mentalnya
“Tapi kan teman-teman malu jika memiliki teman
seorang ODE. Epilepsi itu memalukan. Tidak ada yang mau berteman akrab denganku”,
jawab dia.
Sebenarnya aku ingin menyampaikan pesan bahwa
terkadang persepsi negatif itu berasal dari diri kita sendiri. Teman-teman
sebenarnya ingin menolong, tetapi mereka tidak tahu caranya, mereka takut
berbuat salah. Kita cenderung menutup diri, dan tidak mau bercerita kepada
teman tentang tips pertolongan pertama saat serangan kejang. Memang ada teman
yang menjauhi kita, tapi bisa saja itu respon awal ketika mereka tidak memahami
epilepsi. Ketika mereka sudah memahami, maka mereka bisa berteman dengan kita.
Dan juga tidak semua teman akan menjauhi kita karena faktor epilepsi. Inilah
value yang aku dapatkan dari pengalamanku. Terutama pengalaman kejadian di
China saat aku harus menolong teman ODE yang terkena serangan. Saat itu penduduk
dan polisi lokal menatapku dengan penuh kecurigaan, tanpa bisa memahami
penjelasanku dalam bahasa Inggris (Cerita detailnya ada di sini)
Tetapi bagaimana caranya menyampaikan message ini
kepada anak kecil dan anak usia remaja awal? di mana semua fokusnya adalah rasa
percaya diri, eksistensi diri, dan identitas diri. Maka dia akan selalu
bertanya, “mengapa harus aku yang hidup sebangai ODE?”
Sesuai tindakan di usia remaja awal, di dalamnya
ada pemberontakan, protes terhadap kondisi diri, serta tidak mau mendengarkan
perkataan orang tua. Itulah sebabnya orang tuanya meminta bantuanku untuk
berbicara dengannya.
Aku mencoba untuk membantu dia melakukan
aktualisasi diri sebagai remaja. Cara yang paling aman bagi ODE adalah dengan
menulis seperti aku lakukan. Menulis untuk mengekspresikan segala macam bentuk
emosi dan pendapat. Serta dapat disahre melalui social media sebagai sarana
eksistensi diri. Dia menyambut baik saranku ini.
Pengalaman ini membuatku tertarik untuk mencari
cara yang tepat dalam menghadapi ODE anak/remaja. Bagaimana caranya menanamkan
sebuah value kepercayaan diri ataupun persahabatan kepadanya, dengan cara yang
dia sukai. Selama ini aku selalu menghadapi ODE dewasa/tua atau orang tua dari
ODE.
Akhirnya aku mendapat jawabannya dari Sofia. Sofia
memberiku pengalaman tentang bagaimana caranya menanamkan sebuah value kepada
anak. Memang benar adanya peribahasa Semut
di seberang lautan tampak. Gajah di pelupuk mata tak tampak.
Jika sebelumnya aku menghadapi ODE teenager,
maka sekarang aku berhadapan dengan threenager
bernama Sofia yang saat ini memang berusia 3 tahun.
***
Istilah “threenager” muncul dalam masyarakat,
karena menilai bahwa perilaku anak berusia 3 tahun saat ini sudah mirip seperti
perilaku anak remaja, di mana di dalamnya ada perilaku protes, tidak mau
mendengarkan, tidak mau fokus, galau (tadi maunya A, sekarang maunya B), dll.
Itulah Sofia saat ini.
Sejak beberapa bulan yang lalu Sofia tiba-tiba
suka dengan film Totoro. Film ini berasal dari Jepang, dan sudah ada sejak aku
masih berusia seperti Sofia saat ini. Jadi ini salah satu film di masa
kecilku. Setiap saat dia mau nonton film
Totoro. Bahkan saat ini, saat aku sedang menulis cerita ini, aku juga sedang
nonton berdua dengannya.
Suatu malam dia bercerita suka dengan film ini
“Ayah, hari ini aku udah nontoh film Totoro 2 kali.
Aku senang sekali”, kata dia
Belum sempat aku menanggapi, tiba-tiba dia sudah berkata
lainnya
“Ayah aku takut tidur sendiri”, baru tadi dia
ngomong emosi senang, sekarang ngomong emosi takut
“Takut kenapa?”, tanyaku
“Ayah, aku mau main sama teman-teman. Aku sedih
kalau main sendiri”, lanjut dia
Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Seperti
teenager yang galau, tadinya senang, lalu takut, dan sekarang sedih.
Aku mencoba menanamkan value kepadanya melalui
gambar. Aku mencoba menggambar tokoh Totoro. Tetapi aku tidak menggambar dengan
cara biasa. Aku lipat kertas terlebih dahulu sebelum menggambar, sehingga
nantinya akan ada 2 versi gambar
“Sofi, lihat gambar ini. Gambar siapakah ini?”
“
***
Di hari berikutnya, aku beri dia gambar ke 2.
“Ini gambar siapa nak? Lagi apa?”
“
***